BONTANG, KALTIMOKE — Warga kompleks perumahan BTN Pupuk Kaltim protes. Mereka pun mendatangi Kantor DPRD Bontang. Kedatangan warga ini memprotes permasalahan penarikan retribusi sampah. Mereka meminta retribusi tersebut dihapuskan.
Protes ini disampaikan Selasa, 8 Mei 2018. Selama ini, mereka membayar retribusi pengangkutan sampah yang dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Rp50 per kilogram.
Ketua Badan Pengelola Perumahan (BPP) BTN, Kelurahan Belimbing, Abu Hasyim mengatakan, selama ini, pihaknya selama ini mengelola sampah di BTN. Melalui proses pemilihan, sampah yang tidak bisa diurai akan dibawa ke TPA.
“Kami menggunakan armada kendaraan, tenaga, dan petugas sendiri tetapi tetap disuruh bayar,” protes Abu.
Saat ini, lanjut Abu, pengelolaan sampah di BTN melibatkan warga perumahan dengan menarik iuran Rp 50ribu per bulan. Penarikan iuran guna membiayai tenaga kebersihan dan operasional pengangkutan sampah. Setiap bulan, biaya operasional yang dibutuhkan mencapai Rp110 juta.
“Sementara saat ini banyak rumah di BTN yang kosong. Jadi pendapatan juga kadang tidak menyentuh angka itu,” kata Abu Hasyim.
Nominal tersebut di luar biaya retribusi yang telah ditetapkan dalam Perda Kota Bontang nomor 9 tahun 2011. Alhasil BPP BPN dipastikan tekor tiap bulannya. “Kalau seperti ini mending kami serahkan kepada Pemkot dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup (DLH) untuk mengambil sendiri sampah di lokasi kami,” ujarnya.
Meski demikian, ia berpesan, jika diambil alih DLH, maka perlu ada jaminan untuk pengangkutan sampah dilakukan tiap hari. Masalahnya, jika dibiarkan akan menjadi sarang tikus dan dapat menganggu kenyamanan warga.
Sekretaris DLH Retno Febriaryanti menanggapi hal tersebut. Kata dia, untuk menghapus retribusi maka Perda perlu direvisi. revisi dipastikan harus melibatkan tim dari Pemkot. Oleh sebab itu, ia menilai opsi ini sulit dilakukan.
Salah satu solusinya adalah menyerahkan pengelolaan sampah kepada DLH. Bila ini disetujui maka warga akan dipungut retribusi pelayanan kebersihan Rp7.500 per bulan. Mengingat perumahan tersebut tergolong klasifikasi rumah tangga besar dilihat dari beban listrik yang di atas 1.300 Kwh.
“Tetapi ada syaratnya yakni perlu disediakan tempat pembuangan sementara (TPS) di lokasi itu,” ujar Retno.
Menurut dia, nominal retribusi yang ada saat ini masih sangat rendah. Jika dibandingkan dengan kebutuhan anggaran untuk pengelolaan. Di mana pendapatan retribusi dari sampah hanya mencapai Rp300 juta per tahun. Sementara pengelolaan membutuhkan anggaran Rp10 miliar per tahun.
“Jadi nominal itu masih terbilang sangat murah. Sementara kita semua tiap harinya menghasilkan sampah,” ucapnya.
Deadlock-nya pembicaraan membuat Ketua Komisi III DPRD Rustam HS mengagendakan kunjungan kerja di lokasi tersebut. Peninjauan dijadwalkan Senin, 14 Mei 2018.
“Kami akan pantau dulu kesediaan TPS di lokasi tersebut untuk memutuskan seperti apa langkah yang tepat terkait pengelolaan sampah ini,” ungkap Rustam. (par/adv)