Sudirman Saddu, ST
KALTIMOKE, – Pemindahan ibu kota negara (IKN) benar-benar menyita perhatian publik belakangan ini. Itu dibuktikan dengan perbincangan soal IKN ini bukan hanya di dunia nyata, tapi juga lebih heboh di dunia maya. Dari media mainstream sampai media sosial ramai, kalau tidak ingin menyebut istilah gaduh.
Perbincangan dan perdebatan sudah berlangsung jauh sebelum rapat paripurna DPR RI mengesahkan UU IKN pada 18 Januari 2022. Juga jauh sebelum Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) soal Nama Nusantara pada IKN.
Dari sekian banyak kegaduhan, saya menangkap beberapa substansi. Antara lain soal urgensi pemindahan IKN, nasib Jakarta pasca pemindahan IKN hingga besarnya anggaran yang akan dibutuhkan untuk membangun IKN.
Bagi saya, perdebatan tersebut tentu saja sesuatu yang wajar. Dari perspektif kebijakan publik, tentu memang tidak mudah untuk mengambil keputusan yang mencakup banyak orang. Apalagi ini menyangkut nasib seluruh rakyat Indonesia. Tentu mustahil untuk bisa memuaskan semua orang atau memaksa semua bicara pro, sehingga tak ada lagi kontra.
Saya juga lebih memilih berpikiran positif dan optimistis ketimbang berpikir negatif dan pesimis. Saya percaya, ini menjadi keputusan baik yang harus didukung secara bersama-sama. Bagaimanapun, UU IKN sudah disahkan, sehingga kita semua harus melangkah maju. Apalagi sebagai anak Kalimantan, saya tentu bersuka cita karena sebentar akan menjadi anak ibu kota.
Meski demikian, saya ingin mengajukan beberapa catatan penting bagi para pengambil kebijakan. Khususnya soal pendekatan dalam pembangunan IKN Nusantara. Pendekatan pertama adalah pendekatan struktural. Ini sudah dilakukan pemerintahan Joko Widodo dengan melakukan secara struktural (terstruktur) dari atas ke bawah. Juga dimulai dengan pembentukan UU.
Kedua, pemerintah juga sudah melakukan melalui pendekatan teknik dan visual. Desain IKN sudah dirancang sedemikian rupa untuk menjadi muka/wajah Indonesia ke depan. Desainnya cantik. Lahir melalui sayembara. Semua itu tentu tak perlu diragukan.
Ketiga, pendekatan lingkungan. Kalimantan Timur, tempat IKN Nusantara dibangun adalah wilayah hutan yang menjadi paru-paru dunia. Bencana iklim (hidrometeorologi) belakangan ini yang sudah terjadi di mana-mana tentu menjadi peringatan bagi kita semua. Jangan sampai pembangunan IKN Nusantara mengabaikan aspek lingkungan sehingga membawa malapetaka bagi Indonesia dan dunia.
Keempat adalah pendekatan kultural. Sebab Pembangunan IKN Nusantara tidak sekadar mengisi titik di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) tersebut dengan hutan-hutan beton. Juga tidak akan diisi dengan robot yang bekerja sesuai perintah mesin. Tidak sekadar memindahkan tempat-tempat perkantoran. Akan tetapi, ada manusia yang akan berpindah. Ada manusia di tempat baru tersebut tentu dengan segala kompleksitasnya sebagai manusia.
Oleh karena itu, sejak dini, melalui tulisan ini, saya ingin mengingatkan untuk tidak mengabaikan pendekatan kultural. Gejolak soal tempat “jin buang anak” sudah menjadi alarm bagi kita semua bahwa pengambil kebijakan di IKN Nusantara harus khatam soal pendekatan budaya, pendekatan kultural, karena sesungguhnya Indonesia memang lahir dari kultur. Indonesia bisa bertahan sampai hari ini karena kita bisa menjadi adat budaya dan kultur yang menjadi kekayaan kita semua. Salamaki?
*Presidium IKA-Himpunan Mahasiswa Bontang dan Ketua PAC Pemuda Pancasila Bontang Selatan