Dukung produktivitas dan peningkatan sektor pertanian kakao, Pupuk Kaltim rilis pupuk NPK 14-12-16-4 sebagai terobosan baru komposisi pemupukan untuk tanaman kakao, menggunakan formula khusus yang dikembangkan sejak 2017. Dilaksanakan melalui kerjasama kemitraan antara Pupuk Kaltim dengan PISAgro, Cocoa Sustainability Partnership (CSP) dan PRISMA (Australia Indonesia Partnership for Promoting Rural Incomes through Support for Markets in Agriculture).
Manager Partnership Pupuk Kaltim Muhammad Burmansyah, mengatakan rintisan pupuk khusus kakao bermula dari pembelajaran kemitraan hulu hingga hilir di Nusa Tenggara Barat, untuk dikembangkan ke Sulawesi yang merupakan sentra kakao di wilayah timur Indonesia. Pada awalnya, NPK 14-12-16-4 digagas untuk sektor pupuk komersil (non subsidi), namun dalam perjalanannya, direspon Pemerintah untuk dijadikan Program Pupuk Bersubsidi sejak 2019. “Hal ini bisa tercapai berkat visi besar dan kebijakan strategis dari jajaran Direksi dan Manajemen Pupuk Kaltim, yang secara solid didukung oleh seluruh lini Perusahaan,” ujar Burmansyah.
Direktur Produksi Pupuk Kaltim Bagya Sugihartana, mengatakan melalui Program Nasional Pupuk NPK Formula Khusus Kakao, Pupuk Kaltim diharap menjadi pelopor pertanian presisi untuk peningkatan produktivitas kakao tanah air. Terlebih Perusahaan turut menjalin kemitraan strategis dengan Pemerintah, serta memiliki ikatan emosional kuat untuk maju bersama petani yang difokuskan pada komoditas unggulan nasional berorientasi ekspor, sesuai RPJMN 2020 – 2024 dan Master Plan Kementerian BUMN. “Melalui pembelajaran ini, Perusahaan telah menyusun riset bersama lembaga independen untuk pupuk NPK Formula Khusus pada komoditas lainnya, seperti kopi, karet, jagung, padi dan kelapa sawit,” kata Bagya.
Sementara Direktur Eksekutif CSP Wahyu Wibowo, menyebut gagasan Pupuk Kaltim melalui NPK 14-12-16-4 merupakan langkah aktif anak usaha BUMN tersebut dalam mendukung pengembangan komoditas kakao Indonesia. Hal ini sejalan dengan Road Map CSP 2020, dengan target 200 juta tanaman kakao menggunakan pupuk khusus di tahun 2030.
Program ini disebut Wahyu mampu menjawab keraguan stakeholders kakao maupun pihak lain, karena hasil uji produk Pupuk Kaltim diketahui mengutamakan kandungan nutrisi dalam rasio yang tepat.
Sebab penggunaan pupuk yang tidak sesuai menjadi penyebab utama turunnya pH dan kesuburan tanah, sehingga berimbas pada produksi kakao nasional yang saat ini hanya berkisar 800 Kilogram (Kg) per hektare. Padahal sejatinya satu kali masa panen, hasil produksi kakao berpotensi mencapai 2 – 2,5 ton per hektar. “Pupuk formula khusus dari Pupuk Kaltim ini merupakan terobosan baru dalam Program Pupuk Bersubsidi dan sangat dibutuhkan oleh petani kakao,” ucap Wahyu.
Upaya Pupuk Kaltim disambut positif Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, melalui Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Musdalifah Machmud. Menurut dia, komoditas kakao menjadi keunggulan komparatif bagi Indonesia, khususnya menaikkan daya tawar dalam menghadapi tekanan Internasional. Hal ini melihat ketergantungan dunia internasional terhadap komoditas pertanian dalam negeri, sehingga diyakini akan memberikan manfaat besar bagi petani.
Bahkan untuk mendukung swasembada kakao Nasional, Kementerian Pertanian (Kementan) menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2020, tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi. Dari aturan tersebut, alokasi NPK Formula Khusus Kakao untuk Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan mencapai 17.000 ton dan petani yang telah terdaftar e-RDKK berhak mendapatkan pupuk bersubsidi senilai Rp3.000/Kg melalui pengecer resmi pada level Kecamatan atau Desa. “Kemenko Ekonomi dan Kementan sangat mendukung terwujudnya swasembada kakao Nasional. Ini bisa tercapai melalui program NPK formula khusus kakao,” tegasnya.
Lebih lanjut, produksi kakao Indonesia kata Musdalifah, berkontribusi penting terhadap pertumbuhan PDB Nasional serta pembukaan lapangan kerja di sektor pertanian dan termasuk komoditas prioritas RPJMN 2020 – 2024 terkait peningkatan produktivitas dan keberlanjutan sumber daya pertanian presisi. Melihat data 2018, Indonesia menjadi negara produsen dan eksportir biji kakao terbesar ketiga dunia setelah Ghana dan Pantai Gading. Volume ekspor kakao Indonesia mencapai 380,8 ribu ton, dengan total nilai USD 1.245,8 juta, yang dipengaruhi tingginya permintaan konsumsi cokelat dari Eropa, Amerika dan Australia. “Melalui pemanfaatan teknologi pertanian presisi, formula NPK sudah seharusnya spesifik pada lahan dan komoditas. Makanya program pupuk ini menjadi prioritas nasional dan sangat relevan untuk penguatan ekonomi Indonesia,” pungkas Musdalifah. (*/vo/nav)